Hidup itu susah. Penuh masalah yang datang silih berganti.
Kadang bersosialisasi dengan sesama manusia dengan berbagai sifat sering terasa melelahkan dan memuakkan. Ingin mengenyahkan mereka semua.
Kadang ingin rasanya menyendiri dan melupakan semua masalah yang ada. Mengenyahkan pikiran yang kadang berlebihan. Menguatkan diri untuk bertahan. Kemudian, kupercayakan semua itu ke buku.
Ketika akhirnya aku membuka sebuah buku dan larut dalam ceritanya, sesaat aku melupakan kepenatanku, kegelisahanku mulai mereda, pikiran suntukku mulai teralihkan, dan perasaanku pun mulai tenang.
“Maka kularikan anganku ke dalam buku. Ke sanalah aku pergi kalau kehidupan nyata terasa sangat berat, atau tidak fleksibel.”– Neil Gaiman dalam buku The Ocean at The End of The Lane
Seperti kutipan dari buku Neil Gaiman di atas, aku mempercayakan penolongku adalah sebuah buku. Mungkin terdengar sepele bagi orang lain, tetapi tidak bagiku.
Kutipan di atas adalah salah satu favoritku sepanjang masa. Aku akan selalu mengingat kutipan Neil Gaiman ini. Bagaimana tidak berkesan karena inilah yang sering aku lakukan ketika pikiranku sudah ruwet, kepalsa rasanya ingin pecah, dan hati sudah terasa berantakan. Melarikan diri ke dalam buku. Untuk menenangkan diri. Untuk melampiaskan agar tidak meledak. Untuk menolong diriku sendiri.
Pastinya tidak selalu mudah. Tidak sepenuhnya masalah itu akan hilang. Tidak juga selalu berhasil. Namun, kurasakan lebih banyak membantu.
Tanpa terasa setahun telah berlalu. Pandemi ini masih ada. Selama satu tahun kita dipaksa untuk beradaptasi. Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk beradaptasi. Begitu pun denganku. Namun, ada sesuatu yang menarik ketika dalam rangka ulang tahun ke-47 penerbit Gramedia Pustaka Utama mengambail tema “Bersama Beradaptasi” dan bercerita tentang pengalaman beradaptasi bersama buku.
Kalau kita membicarakan aku dan proses adaptasiku bersama buku setahun belakangan ini rasanya tidak tepat karena aku beradaptasi dengan buku tidak hanya setahun selama pandemi, tetapi dimulai jauh sebelum itu. Bisa dikatakan bahwa bukulah yang membantuku beradaptasi selama ini, sejak kecil, dalam situasi apapun. Bukulah yang membantuku untuk menyesuaikan, berkembang, dan bertahan apalagi mengingat diriku yang begitu pemalu sejak kecil.
Pernah membayangkan berbicara di depan orang lain begitu menguras energi, terasa menakutkan, dan sangat sulit? Aku merasakannya sejak kecil. Disapa orang lain, bahkan oleh tetangga, bukannya menjawab, aku malah lari menghindar.
Jadi, beradaptasi bersama buku tidak hanya aku lakukan sejak masa pandemi ini. Perubahan yang terjadi selama hidupku sampai sekarang ini selalu ditemani buku.
Kalau mengingat masa lalu, buku selalu menemaniku beradaptasi dan berkembang. Baik beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru, atau pun dalam perasaanku.
Semasa sekolah dasar, aku sangat pemalu. Aku lebih senang membaca dibandingkan bermain dengan teman-temanku. Saat itu pun aku mulai membiasakan diri membaca buku lewat seri GOOSEBUMPS. Sewaktu SMP, sifat pemaluku tidak juga berkurang. Malah hanya dekat dengan teman-teman yang suka membaca. Kemudian aku pun aku mulai menjajaki buku yang lebih tebal. Harry Potter adalah buku tebal pertama yang menemaniku dan membuatku semakin dekat dengan seorang temanku sejak sekolah dasar (yang sekarang menjadi istriku) karena dialah yang meminjamiku waktu itu. Dipinjami hanya setengah hari. Namun, tekad menghabiskan buku pertama seri Harry Potter menggebu-gebu dan hanya aku habiskan hanya dalam waktu 4 jam sejak sepulang sekolah sampai sore. Tidak puas sampai di situ, aku pun meminjam buku selanjutnya. Aku pun tergila-gila akan Harry Potter dan mulai menikmati membaca buku tebal. Bahkan hal ini pun membuatku semakin akrab dengan beberapa teman karena sering membicarakan Harry Potter. Ya. Buku-buku yang aku baca semasa itu lebih banyak meminjam karena keterbatasan akses buku di daerahku. Tahun 2001 yang tidak terlupakan.
Hal ini berlanjut di bangku sekolah menengah atas (periode tahun 2002 – 2005). Aku yang berasal dari pulau Lombok yang masih tertinggal dalam akses internet membuat pikiranku masih sempit dan kaku. Aku sering merasakan hal yang bertentangan dengan prinsipku. Namun, ketika menginjak masa kuliah di Jakarta membuatku benar-benar merasakan sesuatu yang berbeda dengan kota asalku. Jakarta yang begitu hiruk pikuk. Penuh dengan berbagai karakter orang dari berbagai daerah. Bagiku yang seorang pemalu dan kikuk, ini adalah sebuah tantangan yang sangat besar. Mampukah aku bertahan?
Merantau membuka pikiranku akan betapa banyak dan luasnya dunia ini. Kuliah di Jakarta yang paling membuatku bersyukur adalah menemukan akses buku dengan sangat mudah. Toko Buku Gramedia adalah surga bagiku. Ini membuatku bertahan. Bahkan buku pun mulai membuatku mampu beradaptasi dengan menemukan teman-teman yang suka membaca dan menulis. Aku memang tidak sepandai mereka dalam menulis, tetapi menemukan teman pembaca membuatku bahagia dan bertahan di ramainya ibukota. Bahkan ada yang masih menjadi teman baikku sampai saat ini.
Ketika aku mulai memasuki dunia kerja pun
begitu. Buku adalah teman setiaku walaupun selama periode tahun 2009 sampai
dengan tahun 2015 bukanlah masa aktifku membaca. Lelahnya dunia kerja membuatku
sedikit mengabaikan buku. Namun, ketika di pertengahan tahun 2015 hidupku mulai
berubah lagi. Aku dipindahkan ke kantor baru dengan jabatan baru dan tanggung
jawab yang lebih besar. Aku tidak siap dengan perubahan yang ada. Tekanan pekerjaan
membuat hari-hariku terasa berat. Setiap hari berharap hari libur segera tiba.
Siapa sangka justru di tengah kesibukan dan ruwetnya pikiranku aku kembali menemukan ketenangan bersama buku. Sejak saat itu, aku mulai gila membaca. Aku rajin membaca buku. Aku mulai aktif di media sosial. Mulai baca ulasan buku di blog dan memulai akun bookstagram sampai saat ini. Membaca buku membuatku tetap waras. Apalagi tekanan tidak hanya dating pekerjaan. Jauh dari keluarga sangat berat. Depresi dan keinginan menghilangkan kesedihan dengan cara yang tidak benar semakin mendakat. Syukurlah buku menyelamatkanku. Buku kembali menemaniku beradaptasi.
Di masa pandemi sekarang ini juga tidaklah mudah karena kehidupan yang juga mulai berubah. Walaupun lebih senang di rumah dan jarang bersosialisasi tidak lantas membuat masa-masa di rumah demi keselamatan itu membahagiakan. Memang rasanya Bahagia karena lebih banyak di rumah, tetapi juga dipenuhi dengan rasa cemas. Berdiam diri di rumah bukan berarti dengan tenang dan leluasa membaca. Semasa awal pandemic tidak lantas membuatku santai dan memiliki banyak waktu menghabiskan timbunan bukuku. Butuh waktu untuk menyelaraskan antara pikiran dan hati. Aku butuh buku baru. Aku butuh ke toko buku. Rasanya menyiksa. Namun, syukurlah buku kembali menemaniku beradaptasi.
Saat ini aku merasa keadaan kembali normal. Kenormalan baru. Aku pun merasa kebiasaan membacaku bergerak ke arah baru juga. Mengapa? Tentunya karena aku mulai suka membaca buku-buku nonfiksi dari Gramedia Pustaka Utama. Jika kehidupan berubah, aku merasa juga harus berubah dan berkembang ke arah yang lebih baik. Buku-buku non fiksi mulai membantuku menemukan jawaban atas pertanyaanku tentang hidup. Seiring dengan bertambahnya usia, aku pun mulai sekali lagi berdaptasi bersama buku.
Pandemi ini mengajarkanku banyak hal. Buku semakin melengkapi pemahamanku akan kondisi ini. Bahkan karena semakin banyaknya buku yang aku baca di masa pandemi ini, beberapa teman bertanya kepada, "Apa kamu nggak pusing baca buku terus-menerus?"
Well, bagaimana ya menjawabnya dengan enak yang bisa diterima oleh mereka? Bagi yang tidak suka membaca buku, maka jawaban yang aku sampaikan akan terdengar tidak masuk akal bagi mereka.
Jawaban sesungguhnya dariku adalah buku dan membaca itu bagiku sudah menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. Aku banyak dibantu oleh buku dan membacanya.
Membaca buku membantuku beradaptasi. Membantuku bertahan. Membantuku tetap waras. Membantu melarikan diri dari penatnya dunia nyata. Membantuku memperluas sudut pandang. Membuatku lebih bisa menghargai orang lain. Membuatku lebih tahu banyak hal. Membuat menemukan banyak teman baru dan orang-orang hebat.
Mungkin susah digambarkan dan ditunjukkan secara langsung. Namun, bagi orang yang suka membaca, tentu tahu dan merasakan efeknya bagi diri sendiri.
Ah, buku pun bagiku adalah sahabat terbaik yang bisa mewakili perasaanku dan bisa menjadi teman curhatku secara tidak langsung. Seperti judul buku Lary Gottlieb yang diterjemahkan oleh Gramedia Pustaka Utama, yaitu “SEMUA ORANG BUTUH CURHAT”, aku pun membutuhkan curhat itu. Kalaupun tidak sama manusia, maka bukulah menjadi media curhatku.
Ngomong-ngomong, buku “SEMUA ORANG BUTUH CURHAT” ini bagus banget. Membaca buku ini dalam masa pandemic ini begitu menyenangkan dan menyegarkan. Buku ini menjadi salah satu buku non fiksi yang membuatku Bahagia dan semakin memperluas sudut pandangku. Salah satu buku favoritku di masa pandemic ini.
Sekali lagi aku tegaskan.
Aku bahagia.
Ya. Lebih tepatnya Aku BAHAGIA bersama BUKU.
Happy With Books.
Komentar
Posting Komentar