And The Mountains Echoed (Dan
Gunung-Gunung pun Bergema)
Khaled
Hosseini (2013)
Penerbit
Qanita
Cetakan
III, Februari 2014
Tebal 516 halaman
ISBN 978-602-9225-93-8
ISBN 978-602-9225-93-8
Khaled Hosseini adalah pengarang yang
sukses dengan novel The Kite Runner dan A Thousand Splendid Sun.
Bermula dari menunggu keberangkatan di
bandara, untuk mengusir bosan biasanya aku mengunjungi toko buku “Periplus” di
Bandara Internasional Lombok. Di etalase kaca deretan best seller, aku melihat
buku ini “And The Mountains Echoed” karya Khaled Hosseini dan langsung tertarik
untuk membacanya. Sayangnya, buku yang ada hanya edisi asli berbahasa Inggris
dan dalam hati berharap segera diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Berharap. Berharap banget.
Kenapa gak beli yang edisi bahasa
Inggris? Ah.. kemampuan bahasa inggris saya masih cetek, boro-boro baca novel
bahasa indonesia, beberapa tahun belakangan ini, butuh berbulan bulan untuk
menghabiskan sampai tamat, apalagi yang bahasa inggris? Mungkin butuh waktu
yang lebih lama atau bahkan mungkin gak bakal selesai. Tapi suatu saat aku
berharap bisa membaca novel bahasa inggris tanpa beban dan tanpa harus
mencari-cari arti setiap kalimatnya, karena banyak buku yang ingin aku baca
tapi belum ada terjemahan bahasa Indonesianya. Hehee...
Membaca sinopsis yang tertulis di
sampul belakang, tentang dua bersaudara Abdullah dan Pari yang saling
menyayangi. Ibu mereka telah meninggal dan ayah mereka menikah lagi dengan
Parwana. Dalam kehidupan pedesaan Afganistan, Pari adalah seberkas cahaya
matahari bagi Abdullah. Namun, kerasnya hidup memaksa sang ayah untuk menjual
Pari kepada pasangan kaya di Kabul. Hati Abdullah hancur.
Semula aku menduga bahwa buku ini akan
bercerita mengenai perjuangan hidup Abdullah dan Pari setelah mereka berpisah,
kisah sedih seperti The Kite Runner atau A Thousand Splendid Sun. Ternyata aku
salah. Buku ini bercerita lebih luas dan lebih kompleks dengan berbagai cerita
yang ada dan saling berkaitan.
Kisah di buku And The Mountain Echoed
ini diawali dengan cerita ayah dari Abdullah dan Pari tentang keluarga petani,
para div, jin, dan raksasa. Kisah yang sangat menarik tentang seorang ayah yang
sangat mencintai anaknya yang diculik div. Aku suka kisah ini karena
mengingatkan akan cerita dari negeri arab dan sekitarnya.
Cerita kemudian dilanjutkan
dengan perpisahan Abdullah dan Pari. Rasa iri dan sayang Parwana terhadap
saudara perempuannya. Surat Nabi – paman tiri Abdullah dan Pari – tentang penyesalan
atas tidakan di masa lalunya. Rasa kesepian Suleiman Wahdati dengan cintanya
yang terpendam, kehidupan Nina Wahdati dengan rasa kesendiriannya di balik gaya
hidupnya yang glamour dan rasa yang entah ingin membuat Pari merasa bertanggung
jawab akan hidupnya. Cerita Markos, seorang dokter bedah yang ingin pergi
mencari sesuatu dalam dirinya. Seorang anak yang memuja ayahnya. Kesengsaraan Iqbal, adik tiri Abdullah, dan
lain sebagainya.
Ternyata memang benar bahwa buku
ini lebih kompleks dibandingkan dua buka Khaled Hosseini sebelumnya. Buku ini bagaikan
kumpulan cerpen, tapi setiap cerita saling berkaitan dan dapat dikatakan sebuah
kesatuan yang utuh dari awal sampai akhir. Kisah antara Abdullah dan Pari
bagaikan gema di pegunungan yang membawa perubahan dan menghubungkan
kisah-kisah orang lain yang secara langsung maupun tidak terkait dengan mereka.
Sebagai pembaca, aku tersentuh
dengan kisah-kisah yang ada. Bahkan terasa membawa kepedihan di hati namun juga
membawa sebuah senyuman (bahkan mungkin juga kelegaan dalam hati). Sedihnya
tidak didramatisir dan juga tidak lebay namun kerasa di hati.
Para tokoh dalam buku ini, ada
yang merasa kehilangan, ada yang melakukan pencarian, ada yang merasa ingin
melarikan diri dari kakunya kehidupan yang dijalaninya, ada yang mencari
kedamaian dan kebenaran, adapula yang ingin menyembuhkan hati mereka. Ah,
betapa indahnya kisah-kisah dalam buku ini.
Sebagai penutup, aku menyukai
kisah penutup dalam buku ini.
“Saat
masih kecil, ayah dan aku punya ritual khusus tiap malam. Setelah aku
mengucapkan Bismillah 21x dan ayah menyelimutiku, dia akan duduk di pinggir
ranjang dan memetik mimpi buruk dari kepalaku dengan jempol dan jari
telunjuknya. Jari-jarinya akan bergeser dari dahi ke pelipisku, dengan sabar
mencari-cari di belakang telingaku, belakanga kepala, lalu ayah akan
mengeluarkan suara POP – seperti suara tutup botol yang terbuka – setiap kali
dia membuang mimpi buruk dari benakku.
Ayah
menumpuk mimpi-mimpi buruk itu, satu demi satu, di kantung tak terlihat di
pangkuannya, lalu mengikat talinya erat-erat. Setelah itu, ayah akan
meraih-raih udara, mencari mimpi indah untuk menggantikan mimpi buruk yang
telah dia singkirkan.
Aku
menatap penuh harap saat ayah sedikit memiringkan kepala dan mengerutkan dahi,
matanya melirik ke kanan kiri, seakan-akan mencoba mendengar suara di kejauhan.
Aku menahan nafas, menunggu saat ketika wajah ayah bersinar dengan senyuman. Saat
dia bersenandung, “Ah, ini dia” lalu menangkupkan kedua tangan, dan membiarkan
mimpi indah itu jatuh di telapak tangannya, seperti kelopak bunga yang perlahan
turun dari pohon. Kemudian, dengan lembut, oh sangat lembut – ayah mengatakan
betapa hal-hal indah di dunia ini sangat rapuh dan mudah hilang - dan mengulurkan tangannya yang tertangkup ke
wajahku, mengusapkan tangannya ke alisku dan memasukkan kebahagiaan ke benakku.”
“Apa
mimpiku malam ini, Baba?” - Pari
Skor : 4/5
suka :)
Komentar
Posting Komentar