Persona + Happiness |
Awal mula aku tertarik untuk membaca karya Fakhrisina Amalia
adalah karena membaca ulasan beberapa blogger dan juga pembaca lainnya yang
mengatakan bahwa novel ‘Persona’ adalah karya terbaik sang penulis sampai saat
ini.
Membaca sinopsisnya pun sebenarnya tidak membuatku begitu
tertarik untuk ngebet segera membaca buku ini, namun rasa penasaran itu masih
saja terasa apabila melihat buku ini di rak toko buku. Hingga pada akhirnya aku
memasukkan ‘Persona’ dalam wishlist-ku
dan menjadi salah satu buku yang pasti akan aku beli ketika aku memenangkan
voucher belanja buku di suatu toko buku besar dan terkemuka di Indonesia
(yaelah, sebut saja Gramedia, Bie!)
Nah, setelah membaca Persona, aku merasa suka dengan tema
yang diangkat (cukup terasa pengaruh manga-anime dalam cerita ini, apalagi nama
salah satu tokohnya Altair, orang Jepang) dan aku suka cara Fakhrisina
menuliskan ceritanya. Cara berceritanya asyik dan tanpa terasa aku pun
menyelesaikan buku ini Cuma dalam beberapa jam saja.
Penasaran akan buku lainnya, aku pun berniat untuk membaca ‘Happiness’
karena cukup tertarik tema yang diangkat. Membaca ulasan tentang buku ini pun
rata-rata positif sehingga ketika berkesempatan ke toko buku minggu lalu, aku
langsung membeli buku ini.
Baiklah, setelah bercerita tentang awal ketertarikanku
membaca dua novel karya Fakhrisina Amalia, aku akan membahas secara singkat pendapatku
akan kedua buku ini. Pendapatku ini lebih tepatnya disebut perasaanku setelah
membaca buku ini sih sebenarnya.
Mulai saja ya.
Judul
: Happiness
Pengarang : Fakhrisina Amalia
Pengarang : Fakhrisina Amalia
Penyunting :
Rina Fatiha
Desain
Sampul : Teguh Tri Erdyan
Penerbit : Ice Cube (imprint Penerbit KPG)
Cetakan Pertama, Agustus 2015
Tebal xi +
223 halaman
ISBN
978-979-91-0907-1
*blurb*
“Berarti nggak masalah, dong,
kalau Ceria masuk MIPA tapi ambil Biologi?”
“Bisa aja, sih. Tapi kalau kamu tanya Mama, yang banyak hitung-hitungannya itu lebih spesial. Nggak sembarang orang bisa, kan?”
Bagi Mama yang seorang dosen Matematika, hitung-hitungan itu spesial. Mama selalu membanding-bandingkan nilai rapor Ceria dengan Reina—anak tetangga sebelah yang pandai Matematika—tanpa melihat nilai Bahasa Inggris Ceria yang sempurna. Karena itu, sepanjang hidupnya Ceria memaksakan diri untuk menjadi seperti Reina. Agar Mama dan Papa bangga. Agar ia tak perlu lagi dibayang-bayangi kesuksesan Reina. Agar hidupnya bahagia. Ceria bahkan memilih berkuliah di jurusan Matematika tanpa menyadari ia telah melepaskan sesuatu yang benar-benar ia inginkan. Sesuatu yang membuat dirinya benar-benar bahagia.
“Bisa aja, sih. Tapi kalau kamu tanya Mama, yang banyak hitung-hitungannya itu lebih spesial. Nggak sembarang orang bisa, kan?”
Bagi Mama yang seorang dosen Matematika, hitung-hitungan itu spesial. Mama selalu membanding-bandingkan nilai rapor Ceria dengan Reina—anak tetangga sebelah yang pandai Matematika—tanpa melihat nilai Bahasa Inggris Ceria yang sempurna. Karena itu, sepanjang hidupnya Ceria memaksakan diri untuk menjadi seperti Reina. Agar Mama dan Papa bangga. Agar ia tak perlu lagi dibayang-bayangi kesuksesan Reina. Agar hidupnya bahagia. Ceria bahkan memilih berkuliah di jurusan Matematika tanpa menyadari ia telah melepaskan sesuatu yang benar-benar ia inginkan. Sesuatu yang membuat dirinya benar-benar bahagia.
--
Bagus. Aku beri nilai 3,5/5 bintang
deh
Ceritanya cukup asyik dan cukup menggambarkan kegelisahan anak-anak dan remaja akan tuntutan orang tua dan orang-orang di sekitarnya.
Orang tua sering lupa bahwa anak
bukanlah diri mereka. Setiap anak itu berbeda dan spesial. Setiap anak
memiliki keahlian, minat, dan kesukaan masing-masing. Sangat tidak tepat jika
kita menuntut hal yang kita inginkan (dan menurut kita terbaik) kepada anak
kita, padahal mereka adalah bukan diri kita sendiri.
Hmmm... Baca buku ini jadi teringat suatu hal. Dulu aku pun menyukai Matematika dan eksakta lainnya. Suka. Unik. Menantang. Bahkan sempat berpikir untuk menekuni ilmu pasti ini. Tapi aku sadar bahwa aku tidak benar-benar menginginkannya dan tidak lagi menganggapnya paling utama. Sekarang pun kalau aku membaca atau melihat kuis/pertanyaan/soal matematika di media sosial yang "katanya" susah dan cuma bisa dijawab oleh segelintir orang. Jika bisa menjawab maka bisa dikatakan jenius. Terus terang, kadang aku muak melihatnya. Seolah-seolah cuma yang bisa menjawab adalah orang pintar sedangkan yang tidak bisa menjawab bukan termasuk golongan orang jenius tersebut. Ah, mereka mungkin terlalu "sibuk" dengan kejeniusan sendiri sehingga tidak sadar bahwa orang pintar dan jenius itu ada dalam berbagai rupa, keahlian, tingkatan, kemauan, keinginan, minat, dan rasa bahagia. Aku kagum dan respek dengan orang pintar. Namun, aku lebih tercengang dan lebih salut sama orang kreatif, baik hati, pintar bergaul, dan peduli alam serta sesama. Memang aku akui, pendapat seperti ini masih banyak kita jumpai di sekitar kita. *lha, malah curhat. Oke deh, balik ke topik.
Cara penceritaan Happiness ini
cukup asyik juga sih. Bagian awal aku menyukai cara penyajian konflik yang
dialami oleh Ceria. Namun, semakin Ceria merasa tertekan, aku pun merasakan
mood-ku agak menurun dalam menyelesaikan buku ini hingga aku pun
melanjutkannya esok hari. Perasaan dan penderitaan yang dialami Ceria bisa dimaklumi.
|
Judul
: Persona
Pengarang :
Fakhrisina Amalia
Penyunting :
Tri Saputra Sakti
Desain
Sampul : Orkha Creative
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2016
Tebal 248
halaman
ISBN
978-602-03-2629-0
*blurb*
Namanya
Altair, seperti salah satu bintang terang di rasi Aquila yang membentuk
segitiga musim panas. Azura mengenalnya di sekolah sebagai murid baru blasteran
Jepang yang kesulitan menyebut huruf L pada namanya sendiri.
Azura merasa hidupnya yang berantakan perlahan membaik dengan kehadiran Altair.
Keberadaan Altair lambat laun membuat perasaan Azura terhadap Kak Nara yang
sudah lama dipendam pun luntur.
Namun, saat dia mulai jatuh cinta pada Altair, cowok itu justru menghilang
tanpa kabar. Bukan hanya kehilangan Altair, Azura juga harus menghadapi kenyataan
bahwa orangtuanya memiliki banyak rahasia, yang mulai terungkap satu demi satu.
Dan pada saat itu, Kak Nara-lah tempat Azura berlindung.
Ketika Azura merasa kehidupannya mulai berjalan normal, Altair kembali lagi.
Dan kali ini Azura dihadapkan pada kenyataan untuk memilih antara Altair atau
Kak Nara.
--
Jujur, membaca sinopsis di sampul belakang buku ini gak
terlalu menggugah minatku untuk langsung membaca buku ini. Aku menganggap kisah
yang ditawarkan Fakhrisina hampir mirip dengan kisah segitiga remaja
kebanyakan.
Namun, aku salah.
Konflik yang diceritakan dalam buku ini lebih daripada
sekadar cinta segitiga ala remaja.
Membaca buku ini ternyata menyenangkan.
Walaupun baru beberapa bab awal aku bisa menduga apa yang sebenarnya terjadi, namun tidak membuatku berhenti membaca buku ini. Twist-nya cukup asyik walaupun bisa aku terka. Mungkin karena pernah membaca dan menonton film dengan tingkah tokoh utama yang mirip dan petunjuk sang penulis yang terbaca olehku makanya aku menebak mungkin "itulah" yang terjadi.
Ternyata aku benar. Walaupun secara garis besar aku bisa menerka apa yang dialami oleh Azura, justru aku penasaran bagaimana penulisnya akan mengungkapkan hal tersebut. Hal ini yang membuatku masih tetap semangat membacanya.
Aku pun semakin penasaran bagaimana sang penulis mengeksekusi cerita seperti ini. Tentu saja rasa penasaran itu sangat ditunjang oleh keasyikan membaca buku ini karena Persona ini bercerita dengan sangat mengalir.
Hasilnya yang aku dapatkan setelah selesai membaca buku ini adalah "asyik".
Menurutku Fakhrinisa pawai menuliskan ceritanya tanpa harus menye-menye berlebih, aksi para tokoh yang lebay atau didramatisir, malah lebih terkesan nyata. Konflik dan permasalahan yang dialami oleh Azura sangat mudah mengundang simpati. Sungguh, aku merasa bersimpati terhadap Azura. Seolah-olah aku mengerti dan bisa memaklumi segala tindakan yang dia lakukan atas apa yang dia hadapi dalam keluarganya.
Walaupun baru beberapa bab awal aku bisa menduga apa yang sebenarnya terjadi, namun tidak membuatku berhenti membaca buku ini. Twist-nya cukup asyik walaupun bisa aku terka. Mungkin karena pernah membaca dan menonton film dengan tingkah tokoh utama yang mirip dan petunjuk sang penulis yang terbaca olehku makanya aku menebak mungkin "itulah" yang terjadi.
Ternyata aku benar. Walaupun secara garis besar aku bisa menerka apa yang dialami oleh Azura, justru aku penasaran bagaimana penulisnya akan mengungkapkan hal tersebut. Hal ini yang membuatku masih tetap semangat membacanya.
Aku pun semakin penasaran bagaimana sang penulis mengeksekusi cerita seperti ini. Tentu saja rasa penasaran itu sangat ditunjang oleh keasyikan membaca buku ini karena Persona ini bercerita dengan sangat mengalir.
Hasilnya yang aku dapatkan setelah selesai membaca buku ini adalah "asyik".
Menurutku Fakhrinisa pawai menuliskan ceritanya tanpa harus menye-menye berlebih, aksi para tokoh yang lebay atau didramatisir, malah lebih terkesan nyata. Konflik dan permasalahan yang dialami oleh Azura sangat mudah mengundang simpati. Sungguh, aku merasa bersimpati terhadap Azura. Seolah-olah aku mengerti dan bisa memaklumi segala tindakan yang dia lakukan atas apa yang dia hadapi dalam keluarganya.
Tokoh Altair dan Nara pun sangat mudah
disukai. Walaupun ada benih-benih cinta segitiga antara mereka, bukan berarti
ada salah tokoh yang patut dibenci. Justru sosok Altair dan Nara memiliki porsi
masing-masing yang sangt pas untuk Azura dan hidupnya.
Akhir kata, rasa penasaranku akan buku ini terbayarkan dengan rasa puas.
Good job.
Akhir kata, rasa penasaranku akan buku ini terbayarkan dengan rasa puas.
Good job.
Nilai 4/5
Komentar
Posting Komentar