THE GIRL ON THE TRAIN
Penulis : Paula Hawkins
Penerjemah : Inggrid Nimpoeno
Penyunting : Rina Wulandari
Penata Aksara : Axin
Perancang
Sampul : Wirda Sartika
Cetakan I
Agustus 2015
Penerbit
Noura Books
ISBN 978-602-0989-97-6
Sinopsisnya nih...
Rachel, seorang wanita yang mengalami masalah dengan minuman keras. Hidupnya kacau yang berakibat hubungan dengan mantan suaminya (Tom) berakhir dengan tidak baik, Rachel pun harus kehilangan tempat tinggal dan juga pekerjaan. Semua akibat masalah mabuk.
Rachel
tinggal (menumpang) di flat teman kuliahnya dulu, Cathy, dan berpura-pura masih
bekerja. Setiap hari Rachel
menaiki kereta komuter yang sama pagi dan sore. Di pinggiran London, keretanya
akan berhenti di sebuah sinyal perlintasan, tepat di depan rumah nomor lima
belas. Setiap hari Rachel selalu memperhatikan rumah tersebut, tempat sepasang
suami istri menjalani kehidupan yang tampak bahagia, bahkan nyaris sempurna.
Pemandangan ini mengingatkan Rachel pada kehidupannya sendiri yang sebelumnya
sempurna. Rachel bahkan memberikan mereka nama Jason dan Jess. Rachel selalu
membayangkan kehidupan yang dijalani oleh Jason dan Jess, yang juga sering mengingatkannya akan
kehidupan bahagianya dahulu bersama Tom.
Bukan cuma suatu kebetulan Jason dan
Jess di rumah nomor lima itu mengingatkannya akan masa lalunya. Tak jauh
dari rumah nomor lima belas, yaitu rumah nomor dua puluh tiga, tinggallah Tom,
mantan suami Rachel, bersama Anna istri barunya. Dahulu Rachel dan Tom tinggal
bersama di rumah tersebut.
Jadi membayangkan ada wanita lain yang menjalani hidup di tempat dia dulu
bahagia sering membuat Rachel sakit hati. Sering kali dia masih mengganggu
kehidupan Tom dan Anna, beserta bayi mereka baik dengan terus-menerus menelpon
mereka maupun dengan mendatangi rumah mereka. Rachel masih terobsesi dengan
mantan suaminya tersebut.
Rachel seorang alkoholik. Setiap
hari dia menenggak berbotol-botol minuman keras sampai benar-benar mabuk. Cukup
banyak masalah yang dia dapat karena mabuk. Namun, dampak yang paling parah dan
yang akan mempengaruhi hidupnya adalah hilangnya ingatan atas apa yang terjadi
dan apa yang dia lakukan ketika sedang mabuk berat.
Pada suatu
pagi, dari dalam kereta komuter, Rachel menyaksikan sesuatu yang
mengejutkannya. Hanya semenit sebelum kereta mulai bergerak, tapi itu pun sudah
cukup. Kini pandangannya terhadap pasangan itu pun berubah. Jess bersama
laki-laki lain di rumah nomor lima belas tersebut.
Suatu hari, terdengar berita bahwa Jess, yang bernama
asli Megan, menghilang dari rumah. Rachel merasa bahwa ia terkait dengan
peristiwa hilangnya Megan, terutama saat sebelum Megan menghilang, Rachel
melihatnya dari balik jendela kereta, sedang bermesraan dengan seorang
laki-laki. Didorong rasa empati yang dalam terhadap Scott, sang suami, Rachel
memberitahu polisi apa yang ia ketahui tentang Megan. Sialnya, ternyata Rachel
benar benar terkait dengan hilangnya Megan, ada laporan yang masuk ke
kepolisian bahwa pada saat hilangnya Megan tersebut, Rachel masuk dan berbuat
onar di rumah mantan suaminya yang tinggal hanya berjarak 4 rumah dari rumah
Megan.
Celakanya, Rachel mengalami block out, ia kehilangan ingatan tentang apa yang ia lakukan malam itu. Tetapi ia memang mengingat kalau pagi saat ia terbangun di kamar apartemennya, kepalanya terluka dan ada darah di tangannya. Jika Rachel ingin membantu menemukan Megan, yang harus ia lakukan adalah mengembalikan ingatannya kembali. Tetapi bagaimana caranya? Lagipula ia seorang pemabuk, yang tentu saja kesaksiannya akan diragukan oleh polisi. Lalu sebenarnya apa yang terjadi pada Megan?
**
Begitulah kilasan kisah yang dipaparkan novel The Girl on The Train karya Paula Hawkins ini.
Celakanya, Rachel mengalami block out, ia kehilangan ingatan tentang apa yang ia lakukan malam itu. Tetapi ia memang mengingat kalau pagi saat ia terbangun di kamar apartemennya, kepalanya terluka dan ada darah di tangannya. Jika Rachel ingin membantu menemukan Megan, yang harus ia lakukan adalah mengembalikan ingatannya kembali. Tetapi bagaimana caranya? Lagipula ia seorang pemabuk, yang tentu saja kesaksiannya akan diragukan oleh polisi. Lalu sebenarnya apa yang terjadi pada Megan?
**
Begitulah kilasan kisah yang dipaparkan novel The Girl on The Train karya Paula Hawkins ini.
The Girl On The Train diceritakan dari tiga sudut pandang
yang berbeda. Pertama, Rachel Watson. Bercerai karena suaminya selingkuh,
pengangguran, teman serumah yang jorok (pribadinya emang jorok sih), tidak
stabil secara emosional, pecandu alkohol. Seorang wanita yang menimbulkan perasaan kasihan dan kesal sekaligus.
Sosok yang cukup menyedihkan-lah.
Kedua, Anna. Istri baru Tom, mantan suami Rachel. Tentu saja
hal ini menjadikannya mendapat gelar perebut suami Rachel, tidak tahu diri,
tipe perempuan yang bakalan dibenci oleh seluruh perempuan di dunia (ya iyalah
perebut suami orang)
Ketiga, Megan Hipwell. Perempuan yang tidak tahu bersyukur
karena memiliki suami yang sangat mencintainya namun tetap selingkuh. Sebenarnya ada masalah dari masa lalunya
juga yang membuatnya menjadi wanita seperti sekarang ini.
Kalau membaca kisah dari sudut
pandang Rachel, kalau akhirnya dia memulai untuk mabuk, secara otomatis aku
langsung sebel banget sama dia (yaelaah mbak, sadar apa kalau mabuk-mabukan itu
gak baik dan jelas-jelas sudah membuat hidup lo hancur – pengen banget ngatai
hal ini langsung ke dia. Hahaha).
Membaca kisah Megan dan saat dia
mulai berpikiran aneh tentang kehidupan bersama suaminya aku langsung bergumam
dalam hati, “Syukuri apa yang ada mbaak. Kehidupan mu sempurna namun pikiran
yang negatif akan merusak kehidupanmu.”
Membaca kisah Anna dan bersikap
protetif, possesif, dan tidak tahu diri juga membuatku geram sendiri. Sadar
diri dong mbak, kamu telah merebut suami orang tapi seolah-olah tidak merasa
bersalah dan malah menyalahkan orang lain.
Yap, benar sekali. The Girl in The
Train ini diceritakan dari sudut pandang 3 wanita bermasalah. Ketiga wanita ini
memiliki masalah kepribadian dalam diri mereka sendiri. Bahkan rasa sebal,
kesal, dan marah terhadap ketiga tokoh ini sering muncul walaupun kadang rasa
simpati muncul di beberapa bagian. Selain itu, kalau kita mau mencermatidan mau
berpikir, apa yang dilakukan oleh ketiga wanita ini bisa dimaklumi (walalupun
tetap saja menyebalkan. Hahaha...)
Tapi, terlepas dari kisah para tokohnya yang tidak normal dan
cenderung bermasalah, The Girl on The Train ini diceritakan dengan menarik.
Penceritaan dari tiga sudut pandang itu justru menambah nilai bagi novel ini.
Kasusnya pun diselesaikan dengan cukup baik. Twist-nya mulai
bisa tertebak menjelang sepertiga akhir novel ini.
Novel ini bagus dan layak kok untuk dibaca, terutama bagi
penggemar kisah misteri.
Dengar-dengar sih novel ini banyak disangkut-pautkan dengan
Gone Girl-nya Gillian Flynn. Bagiku sih kisahnya berbeda. Gone Girl tetap lebih
bagus dan masih beberapa tingkat lebih keren dari novel ini.
Aku suka, tapi...
Tidak se-spektakuler yang aku bayangkan dan sebagus yang aku
hrapkan ketika membaca ulasan dan nilai novel ini.
Nilai : 3,75/5
Komentar
Posting Komentar