aku baik-baik saja |
Cerita seorang teman
Dahulu ada teman kuliahnya yang berasal dari daerah Timur berangkat
kuliah dengan mengayuh sepeda. Jarak antara kampus dan kost-nya sekitar 1 jam
bersepeda. Jadi, lebih dari satu jam sebelum waktu perkuliahan dimulai, dia harus
sudah berangkat dari kostnya. Mandi dan beres-beres lainnya di lakukan di
kampus.
Siang pun gak masalah, walaupun panas terik dan kondisi
jalanan yang ramai dengan kendaraan. Panas, berdebu, penuh asap. Teman yang
lain merasa kasihan melihatnya. Sungguh berat perjuangannya untuk kuliah. Setidaknya
itu yang dipikirkan oleh teman-temannya yang lain. Tapi, ketika temannya
mengomentari hal tersebut, dia mengatakan bahwa “ini hal yang sudah biasa
baginya”.
Istriku pernah bercerita tentang ibu-ibu tetangga yang punya
2 anak kecil yang umurnya masih di bawah 2 tahun. Sendiri mengurusnya anaknya dan
tidak bekerja. Kadang membuat kue untuk dijual sama ibu-ibu kompleks. Uang
bulanan dari suami yang kalau dari sudut pandang kami tidak cukup untuk
sebulan. Apalagi biaya untuk 2 orang anak saja mungkin tidak cukup hanya dengan
uang sejumlah tersebut.
Tapi, kami tidak tahu kondisi sebenarnya, siapa tau kehidupan
mereka baik-baik saja dan mereka menjalaninya dengan hati ikhlas
Masih banyak cerita-cerita lainnya. Tapi cukup dua saja sebagai gambaran.
--
Ceritaku sendiri adalah…
Dulu, sampai tahun 2014 aku hanya punya handphone yang cuma
bisa buat nelpon dan sms. Teman-temanku, bahkan istriku menanyaiku apa gak
tertarik atau gak pengen punya HP canggih yang bisa internetan, video call,
game dan sebagainya?
Aku jawab, “ada keinginan sih, tapi ini juga cukup kok.”
Aku juga senang berjalan kaki, naik kendaraaan umum. Temanku
dan juga istriku sempat berkomentar apa aku gak pengen beli motor?
Aku jawab, pengen sih ada. Tapi, belum terlalu butuh banget
sih. Masih bisa jalan kaki, naik angkot atau kendaraan umum lainnya. Lagipula
agak males juga sih kalau jalanan terlalu ramai, kalau panas, kalau hujan, dsb.
Kalau naik angkot atau kendaraan umum kan bisa tinggal duduk santai. Kalau
mengantuk tinggal duduk mengangguk-angguk. Hahaha..
Dari hal inilah aku belajar bahwa apa yang mungkin terlihat
oleh orang lain atau diri kita sendiri bukan menggambarkan keadaan sebenarnya.
Orang yang terlihat kasihan, menyedihkan, menderita belum tentu seperti itu
sebenarnya. Mungkin kita melihatnya berdasarkan keadaan yang (mungkin) kita
rasakan kalau mengalami hal tersebut. Padahal kalau ditanya, mereka baik-baik
saja, tidak masalah.
Lagipula pada dasarnya mnanusia itu tidak mau dikasihani
kok. Tapi, bukan berarti hal ini mengharuskan kita untuk tidak berempati atau
bersimpati terhadap orang lain. Empati dan simpati itu tetap penting karena
kita adalah manusia yang memiliki hati dan perasaan, bukan benda mati. Yang
perlu kita perhatikan adalah pengendalian diri untuk mengomentari atau terlalu
banyak ikut campur dalam kehidupan orang lain.
Kalau melihat keadaan orang lain yang tidak sesuai dengan ‘standar’
kita, cobalah untuk mengendalikan diri dari komentar-komentar yang sekiranya
tidak bermanfaat. Kalau kita rasa apa yang kita katakan kepada orang lain
efeknya tidak baik, lebih baik kita memilih diam. Pernah kan membaca artikel di
media social tentang ‘basa basi’ yang kita anggap sepele namun berakibat sangat
besar bagi orang lain? Ketika ada yang mengometari rumah yang sempit, tidak
pernah dikasi hadiah, atau hal lainnya justru menimbulkan benih-benih konflik
dalam kehidupan orang lain. Mungkin tanpa kita sadari, kondisi orang lain di
sekitar kita baik-baik saja, namun ucapan kitalah yang perlahan-lahan membuat
kehidupan mereka ‘tidak baik-baik saja’. Semoga kita bisa menghindarkan diri
dari berbuat demikian.
Oleh karena itu, aku berusaha untuk menahan diri untuk tidak
terlalu mengomentari atau mengasihani orang lain yang terlihat kesusahan
(menurut pandangan kita) karena mungkin saja mereka merasa bahagia dan
baik-baik saja (tidak ada masalah) dengan kondisi mereka itu.
Kalau memang menurut pandangan kita orang lain ‘terlihat’
kasihan, maka cukuplah simpati, empati mu kau wujudkan dengan berdoa untuk
mereka semoga mereka, berkecukupan,
bahagia dan memang baik-baik saja.
--
Eh, ada sekadar tips nih. Mudah-mudahan bermanfaat.
Ketika kita ada masalah, apapun itu, tetaplah berusaha
sebaik mungkin dan berdoa. Katakanlah pada diri sendiri dan yakinkan dirimu
bahwa kamu memang baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ucapkan
selalu “aku baik-baik saja” untuk menguatkan diri, memberikan efek positif
kepada diri sendiri dan karena mungkin saja kita memang baik-baik saja.
***
Sudah lama absen menuangkan isi pikiran dalam sebuah
tulisan. Sebenarnya ada beberapa pemikiran hasil merenung dan melamun
(sepanjang perjalanan naik angkutan umum atau dalam perjalan menuju dan pulang
dari kantor) namun lebih banyak berserakan dalam pikiran. Hasil lamunan itu
belum disusun ke dalam kata-kata, alasannya sih klise. MALAS.
Kalau kondisi seperti aku kadang berkhayal dengan sekadar
ngomong, apa yang aku ucapkan, bisa langsung menjadi sebuah tulisan yang nanti
tinggal diedit dan dirapikan saja (ah! Maumu, Bie)
Selamat membaca tulisan ini. Mohon maaf apabila ada
kata-kata yang keliru dan tentu saja aku berharap ada manfaat yang diperoleh
dari tulisanku ini.
Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar